Skip to main content

Tentang Diriku: Dari Manusia “Eksoskeletal” Menuju Manusia “Ekstra Endoskeletal” (Bag 1/2)

Bismillaah..
Sepenggal kisah ini kuuraikan, insyaaAllah ndak ada maksud lain, kecuali berbagi. Alhamdulillah jika ada hikmah atau sedikit inspirasi yg dapat terpetik. Semoga tak mengurangi kebaikan yg Allah kehendaki untukku, justru menambahnya, bagiku dan orang-orang yang membaca tulisan ini. Aamiin J
Aku tau, suatu saat entah kapan aku harus menguraikannya, agar tak ada lagi yang mengerutkan dahi, bertanya-tanya tentang apa yang terjadi pada diriku: seonggok daging yang Allah tiupkan ruh di dalamnya, yang jika secara seksama nampak berbeda dari seonggok daging lainnya. Ya, aku memang berbeda. Tapi itu bukan alasan untuk tidak beraktivitas sebagaimana manusia lainnya kan? Itu bukan alasan untuk tidak menjalani kehidupan seperti individu pada umumnya. Bagaimanapun, aku pernah mengalami masa balita yang sama, masa kecil yang sama: bermain, menangis, tertawa, merajuk, sama seperti lainnya. Karena aku juga manusia, bukan makhluk luar angkasa J.
Hmm tapi  kemudian, aku benar-benar merasa menjadi makhluk luar angkasa! Teman-teman mulai meledekku si bengkok, si miring, sambil memperagakan gaya jalan yang menurutku terlalu berlebihan. Waktu itu aku kelas enam sekolah dasar, kata teman-teman punggungku miring ke kiri. Aku memperhatikan tubuhku di cermin yg menempel pada almari baju bapak, memang miring ke kiri, tapi cara jalanku nggak seperti yang teman-teman ledekkan padaku. Huh, mereka memang terlalu berlebihan! Dasar anak kecil J
Ibu juga melihat perubahan ini, makanya aku dibawa ke rumah sakit umum daerah. Dokter bilang aku scoliosis, aku pernah mendengar kosakata itu di pelajaran IPA. Katanya tulang belakangku tidak lurus tapi membentuk huruf S. Aku juga melihat sendiri bentuk S di punggungku dari hasil rontgen.
“Sakit nggak Dek, punggungnya?” Tanya dokter saat itu.
“Enggak..” hanya itu jawaban dariku, tentu dengan wajah lugu khas anak sekolah dasar (maklum, masih polos dan imut J). Aku tak bertanya apa-apa, dokter hanya menyarankanku untuk dirujuk ke rumah sakit di kota besar. Ibu mengangguk-angguk.
Pulang dari rumah sakit, aku menjalani hidup seperti biasanya. Tak banyak hal yang berubah. Teman-teman masih tetap meledekku, terutama yang laki-laki. Teman-teman perempuan mah baik-baik, malah menghiburku terus. Tapi pertanyaan-pertanyaan mereka tentang apa yang terjadi pada punggungku membuat kepalaku pusing :P
Aku tidak tau apa yang terjadi kemudian. Yang kuingat, bapak dan ibu beberapa kali mengajakku ke pengobatan alternative dan sangkal putung (aku pun baru tau istilah ini belakangan). Punggungku pernah diurut-urut, rutin diolesi minyak kayu putih, ditaburi bunga-bungaan, rempah-rempah, bahkan dibalut kain mori yang bikin gatal-gatal. Hehe J
Di akhir aku baru paham, bapak dan ibu mengalami kesulitan ekonomi sehingga tidak membawaku ke rumah sakit rujukan. Buat bayar hutang aja bingung, apalagi buat ngobatin anak, begitu kira-kira. Hmm ini nih, buah dari kapitalisme!! L
Ibu seringkali menasehatiku untuk tetap percaya diri, nggak boleh minder! Pokoknya kalau diejek nggak boleh cengeng, balas mereka dengan tunjukkan prestasi. Alhamdulillah, prinsip itulah yang terus kupegang J
Menginjak SMP, aku benar-benar berambisi menunjukkan bahwa scoliosis tak akan menghalangi untuk tetap aktif dan berprestasi. Aku mulai sibuk mengikuti OSIS, Pramuka, dan Patroli Keamanan Sekolah, serta menjadi delegasi sekolah di berbagai perlombaaan. Eksis gitu loh :P
Saat SMP inilah aku mengenal Agniz Triahadini, sesama pejuang scoliosis yang hingga kini menjadi “panduan”ku dalam menjalani terapi. Aku baru mengetahui bahwa Agniz memiliki scoliosis saat menginjak kelas 8. Awalnya aku tak tertarik untuk mengikuti jejaknya menjalani upaya penyembuhan. Rasanya malas harus izin sekolah sampai berminggu-minggu seperti Agniz. Di satu sisi aku sama sekali nggak merasakan keluhan yang berarti dari skoliosisku. Yang penting aku masih bisa beraktivitas sebagaimana teman-teman lainnya, jadi ngapain repot-repot?
Sampai pada masa transisi dari SMP ke SMA, sakit flu berkepanjangan membuatku kembali ke rumah sakit umum daerah dan saat dokter membaca rekam medisku, “Lho ini anaknya scoliosis ya? Pernah disuruh rujuk ke RSOP kan? Sudah dibawa kesana atau belum?”
Aku dan ibu celingukan karena memang aku belum pernah dibawa kesana. Heran juga kok dokternya bisa tau, ternyata ada catetannya to (dulu belum tau yg namanya rekam medis)? Barulah saat itu dokter menjelaskan bahaya scoliosis yang dibiarkan tanpa terapi begitu saja.
“Nanti kalau semakin parah bisa mendesak paru-paru dan organ dalam lainnya, jadi sebaiknya diterapi..” kata dokter. “Ooo…” hanya itu yang terucap dariku dan ibu.
Sebenarnya aku pernah bercerita tentang Agniz pada orangtua sebelumnya, tapi baru saat itulah ditanggapi dengan serius. Aku benar-benar dirujuk dan berangkat ke RS Ortopedi Soeharso Surakarta meski saat itu bapak harus tandatangan untuk hutang koperasi.
Sampai di Solo aku dan ibu benar-benar seperti orang udik yang baru lihat kota, nggak mudeng harus gimana dan cuma manut-manut aja. Disana aku menjalani lumbal traksi selama dua minggu. Kalian tau bagaimana prosedur lumbal traksi? Jadi begini, berbaring di bed pasien, lalu rahang dan panggulku ditarik dengan beban kiloan selama dua puluh empat jam nonstop, hanya dilepas saat mandi dan ke toilet. Ya, itu selama dua minggu berturut-turut! Trus makannya gimana? Ya sama, dalam keadaan seperti itu. Pegel? Pasti lah. Aku berasa sapi yang lagi diiket buat persiapan qurban. Begitulah..
Selesai menjalani lumbal traksi di RSOP, aku pulang dengan punggung digips selama tiga bulan. Gimana mandinya? Ya nggak mandi lah :D. Dan tidak mandi selama digips membuat punggungku gatal-gatal (lagi). Kadang ibu membantu menggaruk dengan lidi kapas dan sering lepas di dalam gips. Haha menggelikan XP
Setelah gipsku dilepas, aku menjalani lumbal traksi kedua. Bosan, pegal, sebal, dan ketidakjelasan nasib (karena aku bingung tapi ndak bertanya) membuatku galau. Apalagi setelah dua minggu traksi aku harus pasang gips lagi. Ya Allah aku nggak mau nggak mandi selama tiga bulan lagi!! Akhirnya ibu menandatangani surat pulang paksa untukku. Haha parah ya :P
Dengan memakai brace yang direkomendasikan oleh salah satu dokter aku pulang. Brace itu semacam korset, tapi bahannya terbuat dari fiber yang bisa dilepas-pakai saat mandi, dicuci, dsb. Aku bahkan tak ingat bertanya sampai kapan aku harus memakai brace itu. Yang kuingat adalah selama terapi banyak yang telah kutinggalkan dan aku harus mengejar ketertinggalan.
Aku masih ingat saat aku dan ibu memberhentikan bus di depan RS Ortopedi Soeharso untuk pulang ke Pemalang. Dari jendela kutatap rumah sakit yang telah kutinggali beberapa saat terakhir. Salam perpisahan kuucapkan, entah kapan, suatu saat mungkin aku akan memasukinya lagi, mungkin juga tidak. Hanya Allah saja yang mengetahui jalan hidup yang akan kutempuh kemudian hari, dan Dialah sebaik-baik pembuat rencana... J


Comments

Popular posts from this blog

Idul Adha di Perantauan; Sedih Sih, Tapi... Siapa Takut? B-)

Bismillah. Errr udah paham dari judulnya ya? Yaudah deh, ga jadi cerita ah~ ^_^ Intinya selamat hari raya idul adha, mohon maaf lahir dan batin (loh?) (Hoho gambar yg cukup menghibur :D)

Mitos dan Fakta Mahasiswa FK

Bisa dibilang bahwa kedokteran adalah salah satu jurusan yang tergolong kontroversial. Banyak isu dan gosip yang sering saya dengar bahkan jauh hari sebelum benar-benar jadi mahasiswa FK. Diantara desas-desus itu tak jarang yang membuat saya merasa harus berpikir ulang sebelum memilih ambil jurusan ini. Setelah terjun di dalamnya, ternyata ada isu yang bukan sekedar gosip alias fakta, dan ada pula yang ternyata zonk alias hoax alias mitos belaka. Nah dipostingan kali ini saya pengen bahas satu-satu, meski nggak semuanya karena jumlah aslinya buanyak bangets. Semoga bisa mewakili yes. Abaikan pose orang-orang yang di pinggir 1. Mahasiswa FK biasanya anak orang kaya soalnya bayar kuliahnya mahal. Menurut saya nggak seratus persen benar. Memang ada FK yang mematok harga selangit baik untuk biaya masuk maupun persemesternya, tapi banyak juga FK yang relatif terjangkau, biasanya dari universitas negeri. Selain itu ada kok mahasiswa FK kayak saya yang hanya bermodal dengkul alias m

Kerlap-kerlip

Mati lampu. Ini bukan karena pulsa listrik kost saya habis atau belum bayar 3 bulan. Bukan juga karena lampunya kadaluarsa. Semua lampu sepanjang jalan kost mati, itulah kenyataan yang terjadi, dan harus diterima dengan lapang dada. Dan saya, disini ngutak-atik laptop, nulis-nulis blog selagi temen2 kost ribut masalah lilin, korek, dan seterusnya. Saya cukup menikmati kegelapan ini, karena kamar saya jadi bersinar gara2 hiasan bintang2 fluoroscent warna hijau, pink, dan biru yang saya tempel di langit2 dan tembok kamar saya. Walhasil, kalo mati lampu, kamar saya jadi kerlap-kerlip, jad i berasa melayang-layang di tengah langit malam (lebay), hem mungkin sederhananya seperti berada di planetarium, atau apalah itu, yang jelas rasanya nyaman sekali :) Alhamdulillah, lampunya udah nyala! Wah, cepet banget ya, cuma berapa menit gitu, ga sampe setengah jam. Kamar saya sekarang jadi terang benderang, ga kerlap-kerlip lagi :) Hem, saya jadi teringat sama penemu lampu pijar, Thomas Alfa Edi