Bismillaah..
Sepenggal kisah ini kuuraikan,
insyaaAllah ndak ada maksud lain, kecuali berbagi. Alhamdulillah jika ada
hikmah atau sedikit inspirasi yg dapat terpetik. Semoga tak mengurangi kebaikan
yg Allah kehendaki untukku, justru menambahnya, bagiku dan orang-orang yang membaca
tulisan ini. Aamiin J
Aku tau, suatu saat entah kapan
aku harus menguraikannya, agar tak ada lagi yang mengerutkan dahi, bertanya-tanya
tentang apa yang terjadi pada diriku: seonggok daging yang Allah tiupkan ruh di
dalamnya, yang jika secara seksama nampak berbeda dari seonggok daging lainnya.
Ya, aku memang berbeda. Tapi itu bukan alasan untuk tidak beraktivitas
sebagaimana manusia lainnya kan? Itu bukan alasan untuk tidak menjalani
kehidupan seperti individu pada umumnya. Bagaimanapun, aku pernah mengalami
masa balita yang sama, masa kecil yang sama: bermain, menangis, tertawa,
merajuk, sama seperti lainnya. Karena aku juga manusia, bukan makhluk luar
angkasa J.
Hmm tapi kemudian, aku benar-benar merasa menjadi
makhluk luar angkasa! Teman-teman mulai meledekku si bengkok, si miring, sambil
memperagakan gaya jalan yang menurutku terlalu berlebihan. Waktu itu aku kelas
enam sekolah dasar, kata teman-teman punggungku miring ke kiri. Aku memperhatikan
tubuhku di cermin yg menempel pada almari baju bapak, memang miring ke kiri,
tapi cara jalanku nggak seperti yang teman-teman ledekkan padaku. Huh, mereka
memang terlalu berlebihan! Dasar anak kecil J
Ibu juga melihat perubahan ini, makanya
aku dibawa ke rumah sakit umum daerah. Dokter bilang aku scoliosis, aku pernah
mendengar kosakata itu di pelajaran IPA. Katanya tulang belakangku tidak lurus
tapi membentuk huruf S. Aku juga melihat sendiri bentuk S di punggungku dari
hasil rontgen.
“Sakit nggak Dek, punggungnya?”
Tanya dokter saat itu.
“Enggak..” hanya itu jawaban dariku,
tentu dengan wajah lugu khas anak sekolah dasar (maklum, masih polos dan imut J). Aku tak bertanya
apa-apa, dokter hanya menyarankanku untuk dirujuk ke rumah sakit di kota besar.
Ibu mengangguk-angguk.
Pulang dari rumah sakit, aku
menjalani hidup seperti biasanya. Tak banyak hal yang berubah. Teman-teman
masih tetap meledekku, terutama yang laki-laki. Teman-teman perempuan mah
baik-baik, malah menghiburku terus. Tapi pertanyaan-pertanyaan mereka tentang
apa yang terjadi pada punggungku membuat kepalaku pusing :P
Aku tidak tau apa yang terjadi
kemudian. Yang kuingat, bapak dan ibu beberapa kali mengajakku ke pengobatan
alternative dan sangkal putung (aku pun baru tau istilah ini belakangan).
Punggungku pernah diurut-urut, rutin diolesi minyak kayu putih, ditaburi
bunga-bungaan, rempah-rempah, bahkan dibalut kain mori yang bikin gatal-gatal.
Hehe J
Di akhir aku baru paham, bapak dan
ibu mengalami kesulitan ekonomi sehingga tidak membawaku ke rumah sakit
rujukan. Buat bayar hutang aja bingung, apalagi buat ngobatin anak, begitu
kira-kira. Hmm ini nih, buah dari kapitalisme!! L
Ibu seringkali menasehatiku untuk
tetap percaya diri, nggak boleh minder! Pokoknya kalau diejek nggak boleh cengeng,
balas mereka dengan tunjukkan prestasi. Alhamdulillah, prinsip itulah yang
terus kupegang J
Menginjak SMP, aku benar-benar
berambisi menunjukkan bahwa scoliosis tak akan menghalangi untuk tetap aktif
dan berprestasi. Aku mulai sibuk mengikuti OSIS, Pramuka, dan Patroli Keamanan
Sekolah, serta menjadi delegasi sekolah di berbagai perlombaaan. Eksis gitu loh
:P
Saat SMP inilah aku mengenal Agniz
Triahadini, sesama pejuang scoliosis yang hingga kini menjadi “panduan”ku dalam
menjalani terapi. Aku baru mengetahui bahwa Agniz memiliki scoliosis saat
menginjak kelas 8. Awalnya aku tak tertarik untuk mengikuti jejaknya menjalani
upaya penyembuhan. Rasanya malas harus izin sekolah sampai berminggu-minggu
seperti Agniz. Di satu sisi aku sama sekali nggak merasakan keluhan yang
berarti dari skoliosisku. Yang penting aku masih bisa beraktivitas sebagaimana
teman-teman lainnya, jadi ngapain repot-repot?
Sampai pada masa transisi dari SMP
ke SMA, sakit flu berkepanjangan membuatku kembali ke rumah sakit umum daerah
dan saat dokter membaca rekam medisku, “Lho ini anaknya scoliosis ya? Pernah
disuruh rujuk ke RSOP kan? Sudah dibawa kesana atau belum?”
Aku dan ibu celingukan karena
memang aku belum pernah dibawa kesana. Heran juga kok dokternya bisa tau,
ternyata ada catetannya to (dulu belum tau yg namanya rekam medis)? Barulah
saat itu dokter menjelaskan bahaya scoliosis yang dibiarkan tanpa terapi begitu
saja.
“Nanti kalau semakin parah bisa
mendesak paru-paru dan organ dalam lainnya, jadi sebaiknya diterapi..” kata
dokter. “Ooo…” hanya itu yang terucap dariku dan ibu.
Sebenarnya aku pernah bercerita
tentang Agniz pada orangtua sebelumnya, tapi baru saat itulah ditanggapi dengan
serius. Aku benar-benar dirujuk dan berangkat ke RS Ortopedi Soeharso Surakarta
meski saat itu bapak harus tandatangan untuk hutang koperasi.
Sampai di Solo aku dan ibu
benar-benar seperti orang udik yang baru lihat kota, nggak mudeng harus gimana
dan cuma manut-manut aja. Disana aku menjalani lumbal traksi selama dua minggu.
Kalian tau bagaimana prosedur lumbal traksi? Jadi begini, berbaring di bed
pasien, lalu rahang dan panggulku ditarik dengan beban kiloan selama dua puluh
empat jam nonstop, hanya dilepas saat mandi dan ke toilet. Ya, itu selama dua
minggu berturut-turut! Trus makannya gimana? Ya sama, dalam keadaan seperti itu.
Pegel? Pasti lah. Aku berasa sapi yang lagi diiket buat persiapan qurban.
Begitulah..
Selesai menjalani lumbal traksi di
RSOP, aku pulang dengan punggung digips selama tiga bulan. Gimana mandinya? Ya
nggak mandi lah :D. Dan tidak mandi selama digips membuat punggungku
gatal-gatal (lagi). Kadang ibu membantu menggaruk dengan lidi kapas dan sering
lepas di dalam gips. Haha menggelikan XP
Setelah gipsku dilepas, aku
menjalani lumbal traksi kedua. Bosan, pegal, sebal, dan ketidakjelasan nasib
(karena aku bingung tapi ndak bertanya) membuatku galau. Apalagi setelah dua
minggu traksi aku harus pasang gips lagi. Ya Allah aku nggak mau nggak mandi
selama tiga bulan lagi!! Akhirnya ibu menandatangani surat pulang paksa untukku.
Haha parah ya :P
Dengan memakai brace yang
direkomendasikan oleh salah satu dokter aku pulang. Brace itu semacam korset,
tapi bahannya terbuat dari fiber yang bisa dilepas-pakai saat mandi, dicuci,
dsb. Aku bahkan tak ingat bertanya sampai kapan aku harus memakai brace itu.
Yang kuingat adalah selama terapi banyak yang telah kutinggalkan dan aku harus
mengejar ketertinggalan.
Aku masih ingat saat aku dan ibu
memberhentikan bus di depan RS Ortopedi Soeharso untuk pulang ke Pemalang. Dari
jendela kutatap rumah sakit yang telah kutinggali beberapa saat terakhir. Salam
perpisahan kuucapkan, entah kapan, suatu saat mungkin aku akan memasukinya
lagi, mungkin juga tidak. Hanya Allah saja yang mengetahui jalan hidup yang akan
kutempuh kemudian hari, dan Dialah sebaik-baik pembuat rencana... J
Comments
Post a Comment