Iseng-iseng buka arsip tulisan-tulisan ngasal di masa lalu,saya menemukan beberapa karya yang lucu -sejujurnya menurut saya agak norak. Dan karena saya sudah bertekad untuk mengaktifkan kembali blog yang biasa-biasa saja ini, tapi ndak ada ide mau nulis apaan, jadi saya posting tulisan norak masa lalu itu deh yaa XD
Yang berikut ini menurut saya sedikit lebay bahasanya. Sosoan kepengin bikin lucu, tapi ndak lucu. Hahaha. Penasaran? Enggak? Hya yasudahlah saya akan tetap menerbitkannya. Hehehe. Cekidot guys ;)
Yang berikut ini menurut saya sedikit lebay bahasanya. Sosoan kepengin bikin lucu, tapi ndak lucu. Hahaha. Penasaran? Enggak? Hya yasudahlah saya akan tetap menerbitkannya. Hehehe. Cekidot guys ;)
JEMPOL AA’ MARKO
By. Banza Zakiyah Nurmala
Sudah tiga hari ini Komar tidak bisa tidur. Duduk susah, berbaring sulit, tengkurap tak mungkin, pokoknya tersiksa lahir batin.
“Duh, Gusti….”Cuma itu yang bisa terucap dari bibir tonggosnya.
Wwalah-walah, sebenarnya ada apa ini? Ternyata penderitaan yang selama ini dirasakan Komar, tak lain dan tak bukan, bersumber dari jempol kaki kanannya.
Ceritanya begini, tiga hari yang lalu, waktu Komar lagi asyik motongin kuku-kuku kakinya, tiba-tiba terdengar suara aneh.
“Kring….Kring….”begitu bunyinya. Kira-kira suara apa, ya?
“Mar, angkat tuh teleponnya!”kali ini terdengar lagi bisikan gaib yang lebih mengerikan. Agaknya yang ini berasal dari ibunda Komar.
“Waduh, Mak. Lagi asyik nih. Jo, angkat tuh!”seru Komar pada Paijo, adiknya.
Pasrah menjadi korban, Paijo mengangkat telepon itu sambil srupat-sruput menghisap ingusnya. Pilek yang diderita saudara kandung Komar ini emang ga sembuh-sembuh. Sungguh malang nasibnya. Tapi kadang-kadang ilfiil juga liat ingus Paijo dimana-mana.
“Hallo? Mau bicara ama siapa? Marko? Di sini ga ada yang namanya Marko tuh. Salah sambung, kali!”klik. Telepon ditutup.
“Siapa, Jo?”Tanya Komar masih dengan aktivitasnya motongin kuku.
“Tau tuh. Cewek. Mana suaranya merdu banget. Katanya sih mau ngomong ama Marko. Salah sambung kali ye,”balas Paijo sambil berlalu, dan lagi-lagi srupat-sruput ngisepin ingusnya yang hampir meler.
“What!!? Jangan-jangan….”Komar yang sedang memotong kuku jempol kanannya tanpa sadar memotong sebagian dagingnya juga. Wew!! Mengerikan!!
“Kring….Kring…”telepon bernyanyi lagi. Walaupun suaranya agak fales-fales dikit. Maklum, telepon zaman baheula. Dengan gaya bak pendekar Wong Fei Hung hendak menangkap lalat, Komar menggapai gagang telepon. Hup!
“Ehm, ehm. Tes, tes. Satu, dua, tiga. Oke! Hallo!”
“Hallo! Pak Untung! Pak, sudah berapa saya bilang! Bayar hutang-hutang Bapak sekarang juga! Atau Bapak akan….”klik. Komar memutus hubungan. Suara merdu yang diharap, eh malah suara rentenir salah alamat yang didapat. Telinga Komar mendengung, tuli sebelah gara-gara disamber gledek disiang bolong.
Betewe, sebenarnya Komar emang lagi ngincer ade kelasnya yang kinyis-kinyis kaya Luna Maya. Aura, namanya. Nama yang indah bagai penyanyi pop baru ngetop. Huft, mengingat namanya saja membuat hati Komar kebat-kebit, berbunga-bunga sembari bersenandung ala Ridho Rhoma.
“Sekiian lammaaa, aakuu meenunggu, Auura yang kuu saayaang….”euheuy.
Masalahnya, nama Aura Isabela Kumala Putri yang begitu anggun ga matching kalo disandingkan dengan nama Komar. K-O-M-A-R titik. Maka dari itulah Komar berinisiatif mengutak-atik namanya, hingga terpilihlah “Marko” sebagai nama bekennya. Marko Mar. Nama ini terinspirasi dari Bang Toyib, penjual sate keliling yang selalu memanggil Komar dengan “Mar, Komar ta iye”. Jadilah Komar memperkenalkan diri pada pujaan hatinya, Aura, dengan nama Marko. Nama yang maco, kaya bintang telenovela, pikirnya.
Daaan, baru saja, beberapa menit yang lalu, adiknya, Paijo, menerima telepon dari cewe yang bersuara merdu mendayu-dayu hendak berbicara dengan Aa’ Marko. Huwaa!! Jangan-jangan cewe ntu Aura!!
Batin Komar bergejolak. Hatinya ketar-ketir. Matanya berputar-putar. Bibirnya mencong kanan-kiri. Kakinya menghentak-hentak. Eits, kakinya? Mendadak ia merasa ada yang aneh dengan kakinya. Komar menunduk memeriksa kakinya. Dan tiba-tiba….
“Huwa!! Darah!! Darah!!”Komar lemas. Matanya melotot melihat darah yang berceceran di sekitar kakinya. Ia pun menelengsot. Pingsan.
Mata Komar terbuka sedikit. Yang pertama kali dilihatnya adalah hidung adiknya, Paijo, yang penuh ingus bertelaran. Hooeek!! Mendadak Komar ingin pingsan lagi.
“Wah, Bang Komar udah siuman!”Paijo mendekat hendak memeluk dan mencium kakaknya.
“Huwa!! Hush, hush! Sana pergi! Abang dah baikan!!”Komar mencak-mencak kaya mau diperkosa.
“Hei, adikmu itu kan mengkhawatirkan abangnya! Masa ndak boleh!”ibunda Komar menasehati. Atau lebih tepatnya memaksa. Sebab matanya mendelik seperti hendak mencuat keluar dan gigi-gigi taringnya mendadak nongol di sela-sela bibirnya. Komar pasrah.
Hm, begitulah. Bisa disebut karma. Sebab sebelumnya Komar sempat menertawakan Budi, temannya yang menderita cantengen pada jempol kakinya karena terinjak kerbau saat menggembala. Sobat Komar yang satu ini memang sederhana dan bersahaja. Maka dari itulah Komar tak segan-segan menghinanya.
“Hahahaha! Cantengen? Penyakit apaan tuh? Sejenis borok bernanah, ya? Kayaknya Cuma diderita ama alien kaya kamu deh! Soalnya ntu penyakit langka dari Planet Pluto, sih! Hahahaha!”
Tapi kini survey telah membuktikan bahwa Komar pun makhluk dari planet antah berantah.
Akhirnya kaki Komar diperban. Dia ga boleh pake sepatu. Takutnya jempol kaki yang mblonyok itu terhimpit-himpit kaya tempe penyet. Mending juga kalo ditambah sambel terasi. Kan maknyuss!
Esoknya di sekolah, Komar harus tabah menghadapi dera dan derita dari lisan kawan-kawannya yang terjaga.
“Nape kakimu tuh, Mar? dikelindas becak? Apa kejatuhan duren? Hwikikiki….”
“Makanya, jangan suka ngehina, Mar! kata orang tua, ojo moyok, mengko nemplok!”
Hadu! Mana kaki nyut-nyutan, kuping panas, hati mangkel, kepala puyeng, hidup segan, mati tak mau. Begitulah kira-kira perasaan Komar.
Pulangnya, Komar mo nebeng motor Sayuti, temen sebangkunya. Tiba-tiba terdengar suara merdu bak nyanyian dari surga.
“Kak Marko! Kak!”euleh-euleh, ternyata suara ntu berasal dari bibir manis Neng Aura.
“Eh, Aura. Ada apa nih? Tumben, manggil-manggil Aa’ Marko,”Komar mendadak nyengir kuda. Nyut-nyutan di jempol kakinya hilang sudah.
“Kenapa tuh, kaki Kak Marko? Kok diperban gitu?”wajah imut Aura makin memancarkan auranya saat terheran-heran.
“Eh, oh, ehm, itu…. Kecelakaan kemarin,” timpal Komar gelagapan. Gengsi gitu loh, kalo bilang tuh jempol kaki cantengen.
“Oh, gitu. Enggak, kemarin Aura telepon ke nomernya Kak Marko kok salah sambung sih?”
“Wah, ternyata bener,”
“Kenapa Kak?”
“Eh, enggak kok. Nggak papa. Salah pencet kali,”
“Kayaknya udah bener kok,”
“Yaudah, barangkali salah, ntar Aa’ kasih nomernya lagi. Emangnya ada apa sih, Aura telpon-telpon Aa’ segala?”
“Gini, hari Minggu nanti Aura mo minta tolong Kak Marko buat nganterin Aura. Tapi kalo engga bisa…..”
“Oh, bisa! Bisa!”Komar girang kaya monyet yang puasa 40 hari terus kebagian pisang.
“Wah, sebelumnya makasih banget ya, Kak! Ya udah, gitu aja. Aura pulang duluan ya,”
“Iya, iya,”hingga setengah jam setelah Aura pergi, Komar masih mesem-mesem di tempat, sedikitpun tak beranjak. Kaya patung Budha Ju Lai aja. Sayuti yang nunggu dari tadi mulai bête, trus pergi deh. Terpaksa Komar musti jalan kaki. Fuh…….
[to be continued]
Comments
Post a Comment