Skip to main content

Kebiasaan Boleh Ditiru

Sebelum menulis postingan ini saya harus merenung beberapa hari. Dan dalam perenungan itu saya baru menyadari betapa selama ini hidup saya sangat seenaknya sendiri. Saya bingung hal apa saja yang menjadi kebiasaan saya, dan lebih bingung lagi saat harus memilih mana yang boleh atau sebaiknya ditiru dari kebiasaan-kebiasaan tersebut. 

Sejak bangun hingga menjelang tidur lagi, kehidupan saya benar-benar ordinary. Sholat seperti orang kebanyakan, mandi seperti orang kebanyakan, makan seperti orang kebanyakan, dan beraktivitas seperti orang kebanyakan. Ngga ada kebiasaan yang spesial. Tapi saya pikir-pikir, apa yang boleh orang lain tiru dari kebiasaan saya bukanlah hal yang harus khas saya banget, yang penting hal tersebut bukan hal yang salah, syukur-syukur kalau hal yang bermanfaat. Dan meski sudah banyak orang yang melakukannya, semoga dengan saya berbagi hal ini, jadi lebih banyak lagi yang melakukan kebiasaan tersebut. Dan setelah saya pilih-pilih, ada satu yang ingin saya share, ialah membaca terjemah setiap membaca Al Quran. 


Saya tergolong anak yang telat bisa baca Al Quran. Waktu kecil, di TPQ dekat rumah banyak anak yang jail, dan karena saya penakut, jadi selalu nangis kalau disuruh berangkat mengaji. Bahkan saya pernah "kabur" bersama teman kecil saya, berjalan kaki hingga jalan besar yang cukup jauh dari rumah karena ngga mau berangkat mengaji. Mogoklah saya sampai bangku kelas 6 SD, sampai orang tua saya memanggilkan guru mengaji yang datang ke rumah, ngaji privat. Saya baru mulai membaca Al Quran saat banyak teman sekelas saya mengkhatamkannya. Alhamdulillah, mending terlambat daripada ngga sama sekali ;)

Lalu saat SMP kelas berapa ya saya lupa, kakak saya membelikan sebuah Al Quran terjemah kecil, untuk saya miliki sendiri, karena sebelumnya masih pakai Al Quran gede punya bapak. Al Quran pertama saya covernya perak, penerbit Diponegoro, masih saya simpan sampai sekarang. Waktu itu baru sekali dua kali saya baca artinya, belum rutin, tapi mulai suka. Jaman itu di kampus kakak lagi ngetren nasyid Justice Voice yang judulnya Rumus Canggih, isinya tentang gimana asyiknya saat meresapi makna ayat-ayat Al Quran. Kakak punya kasetnya, dan saya suka ikut mendengarkan. Nasyidnya lucu, tapi sedikit banyak berpengaruh pada minat saya membaca arti setelah tilawah.

Banyak hal-hal menarik yang saya temukan saat membaca terjemah Al Quran, mulai dari shiroh yang ternyata diceritakan dengan sangat detail, hingga hukum-hukum yang awalnya cuma denger dari guru agama. Fyi, sekolah saya dari SD sampai SMA adalah sekolah negeri, jadi pelajaran agamanya cuma seminggu sekali dengan durasi 2 jam pelajaran. Jadi rasanya seru saat buka-buka terjemah Al Quran lalu menemukan ayat yang sebelumnnya pernah diajarkan di sekolah. Berlanjut dengan iseng-iseng pas lagi galau terus buka halaman sembarang, kok ternyata ayatnya nyambung dan pas banget nmenjawab permasalahan. Saya mulai berpikir kalau Al Quran itu ajaib. 

Sejak kapan rutin, saya lupa. Yang jelas prosesnya ngga ujug-ujug. Dulu sering males, sekarang juga kadang males sih karena lebih lama baca terjemahnya daripada ayatnya, tapi kalau ngga baca terjemahnya jadi aneh, kayak ada yang ketinggalan. Konsekuensinya, target bacaan saya dalam sehari ngga bisa sebanyak temen-temen yang lain, tapi bagi saya ada kepuasan dan hikmah tersendiri. Dari baca terjemah, kita sedikit-sedikit jadi tau bagaimana perintah dan larangan Allah mulai dari makanan, pakaian, bertamu, berekonomi, berumah tangga, hingga bernegara. Jadi semakin yakin bahwa Islam sangat cocok diterapkan di segala aspek kehidupan. 

Saya juga jadi tertarik belajar bahasa  arab, secara ngga pernah ikut madrasah, jadi buta sama sekali mengenai bahasa arab. Kebetulan ada program yang menarik dan saat dijalani ternyata cocok di hati, ialah program BISA yang proses pembelajarannya lewat whatsapp. Alhamdulillah jadi tau dikit tentang nahwu sharaf, jadi tambah asik kalau baca terjemah Al Quran yang perkata. Harapan saya bisa terus menjalani kebiasaan ini dan kalaupun futur suatu saat nanti bisa bangkit lagi. Harapannya kebiasaan ini bisa jadi jalan untuk berusaha menjadi muslimah yang terus memperbaiki diri.

Semoga Allah senantiasa istiqomahkan kita dalam mencintai Al Quran. Membacanya, meghapalkannya, memahaminya, menerapkanya, juga menyebarkannya. Aamiin :)



Comments

Popular posts from this blog

Mitos dan Fakta Mahasiswa FK

Bisa dibilang bahwa kedokteran adalah salah satu jurusan yang tergolong kontroversial. Banyak isu dan gosip yang sering saya dengar bahkan jauh hari sebelum benar-benar jadi mahasiswa FK. Diantara desas-desus itu tak jarang yang membuat saya merasa harus berpikir ulang sebelum memilih ambil jurusan ini. Setelah terjun di dalamnya, ternyata ada isu yang bukan sekedar gosip alias fakta, dan ada pula yang ternyata zonk alias hoax alias mitos belaka. Nah dipostingan kali ini saya pengen bahas satu-satu, meski nggak semuanya karena jumlah aslinya buanyak bangets. Semoga bisa mewakili yes. Abaikan pose orang-orang yang di pinggir 1. Mahasiswa FK biasanya anak orang kaya soalnya bayar kuliahnya mahal. Menurut saya nggak seratus persen benar. Memang ada FK yang mematok harga selangit baik untuk biaya masuk maupun persemesternya, tapi banyak juga FK yang relatif terjangkau, biasanya dari universitas negeri. Selain itu ada kok mahasiswa FK kayak saya yang hanya bermodal dengkul alias m...

Idul Adha di Perantauan; Sedih Sih, Tapi... Siapa Takut? B-)

Bismillah. Errr udah paham dari judulnya ya? Yaudah deh, ga jadi cerita ah~ ^_^ Intinya selamat hari raya idul adha, mohon maaf lahir dan batin (loh?) (Hoho gambar yg cukup menghibur :D)

Tentang Kuliah di FK

Banyak orang yang berpikir kuliah di kedokteran itu keren, prestis, wah, dan sebagainya. Tak heran bila banyak yang bercita-cita jadi dokter. Banyak orang memandang dokter di masyakarat itu termasuk kalangan menengah ke atas, duitnya banyak, hidupnya santai tinggal kipas-kipas, uang datang sendiri. Tapi benarkah demikian? Saya pribadi sebelumnya ngga pernah bercita-cita jadi dokter, memimpikan pun tidak. Bagi saya jadi dokter itu ketinggian, saya benci pelajaran biologi, takut liat darah, dan orang tua saya juga ngga punya banyak uang, ditambah lagi, kuliah dokter kayaknya lama. Awalnya cita-cita saya ingin jadi sastrawan, jadi penulis buku (seperti yang sudah saya ceritakan di postingan sebelumnya ). Tapi kemudian saya ingin lebih realistis, karena orang tua saya ngga mungkin mengabulkan cita-cita semacam itu, dengan alasan untuk jadi penulis bisa dilakukan sambil kuliah yang lain. Jadi saya beralih untuk mengambil jalur yang sama dengan kedua kakak: menjadi guru. Kakak pertama s...