Skip to main content

Dalam Bingkai Sebuah Azzam


Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS. An Nuur 24:31)
Hening. Hanya gemerisik daun tertiup angin dari pohon mangga arum manis di depan kelas. Suara bagai tertelan pergulatan benak masing-masing. Tak ada yang berani berbicara. Detik jam merayap lambat, jarumnya seolah enggan beranjak.
“Jangan terlalu idealis! Nanti kalian bisa dipersulit. Beberapa universitas favorit sudah mengharuskan foto ijazahnya terlihat bagian telinga. Apalagi saat melamar pekerjaan. Ibu bukan mau berniat apa-apa, semua untuk kebaikan kalian,” ucap beliau.
Aku tak menyalahkan, marah, atau menyimpan dendam pada siapa-siapa, apalagi pada beliau. Ya, aku yakin, beliau hanya belum paham saja. Bagaimana bisa, kehormatan seorang wanita muslim hanya dibeli dengan selembar kertas berlabelkan ijazah? Namun dalam kelas siang itu, aku masih belum berani menyatakan niatku secara terbuka. Diam, hanya itu hal yang kini kulakukan. Bukan untuk mengalah, tapi untuk menunggu. Hingga tiba saat yang tepat, akan kusampaikan. Aku bersedia melakukan apapun untuk mempertahankan jilbab dalam pas foto akhir sekolah!
Lagi, gemerisik daun memecah kesunyian kelas. Anehnya kali ini angin membawa aroma itu. Aroma yang semestinya baru tercium beberapa bulan lagi. Aroma bulan Juli. Seolah-olah aku bisa menghirupnya memenuhi rongga dadaku, hingga sesak oleh semangat yang sama. Dan anganku pun kembali pada masa itu, suatu masa dengan aroma khas yang juga sama.
Mentari tampak tersenyum di antara langit biru. Gumpalan awan bagai kapas empuk, putih bersih. Burung-burung gereja melompat-lompat sesekali terbang rendah dari dahan satu ke dahan lainnya. Aku mengayuh sepeda dengan energi full. Hari itu hari pertama masuk sekolah menengah pertama semenjak 2 pekan menjalani libur akhir kelas VII.
Ada satu hal spesial yang berbeda dari diriku. Tas baru? Bukan. Sepatu baru? Bukan juga. Wajah baru? Apalagi itu, tentu bukan. Seragam baru? Ya. Apa spesialnya? Karena seragam baru yang kukenakan bukan seragam baru biasa, melainkan luar biasa. Kemeja putih berlengan panjang, rok biru yang juga panjang, ditambah tudung kepala hingga dada. Ya, aku resmi berjilbab.
Teman-teman yang tanpa sengaja bertemu sapa memandangku. Kerut-kerut tipis nampak di dahi mereka. Heran, mungkin. Aku yang notabene tomboy, suka main sama cowok, dan hobi nge-band, tiba-tiba mengenakan sesuatu untuk menutup rambut. Mana Bani yang kemarin sebelum liburan?
Dengan wajah penuh senyum, kusapa satu persatu teman-teman dengan kerut di dahi itu.
“Bani?” salah satu temanku, dengan wajah heran, menggerak-gerakkan tangannya memegang kepala lalu menjepit lengan bahu. Mungkin kurang lebih maksudnya “Kamu serius pake jilbab?”
Dengan mantap aku menganggukkan kepala, “Ya! Aku sekarang pake jilbab,” selanjutnya derai tawa memecah.
“Kamu serius? Udah siap?” tanya temanku.
“Insya Allah,” jawabku dengan senyum masih tersungging. Hehehe maklum, suasana hati lagi bagus, jadi bawaannya ingin senyum terus.
Kalau boleh berkata jujur, untuk masalah kesiapan bisa dibilang bahwa aku belum terlalu siap, bahkan bisa dibilang nekat. Bagaimana tidak, memakai jilbab segiempat saja masih belepotan. Miring sana sini, poni masih keluar disana sini. Baru satu jam saja aku sudah hampir sepuluh kali membetulkan letak jilbabku.
Kenapa aku menguatkan diri untuk berjilbab? Hm, sepertinya pertanyaan itu harus kujawab lebih dulu.
Keluargaku memang bukanlah sebuah keluarga yang terlalu menerapkan syari’at Islam di kehidupan sehari-hari. Bagi kami dulu, sholat lima waktu, puasa Ramadhan, dan zakat fitrah sudah cukup untuk melepaskan predikat Islam KTP. Kami menjalani hidup dengan damai dan bahagia layaknya keluarga pada umumnya.
Perubahan mulai terjadi saat kakak pertamaku menyandang status mahasiswa, dimana secara tiba-tiba ia memutuskan untuk berjilbab. Aku yang bisa dibilang masih kecil saat itu tak mau ambil pusing memikirkan kenapa kakakku tiba-tiba menutupi rambutnya saat keluar rumah atau bertemu dengan laki-laki selain saudara kami. Yang aku tahu, kakak pernah mengatakan bahwa menggunakan jilbab itu wajib bagi perempuan yang sudah baligh, atau menstruasi. Saat itu, aku belum berpikir lebih jauh, karena aku masih anak-anak menuju remaja yang tergolong labil.
Lalu tak lama kemudian kakakku yang kedua mengikuti jejak kakak sulungku, jadilah tinggal aku yang masih pelonthosan. Karena nggak pede saat jalan bersama mereka, akhirnya aku mengambil keputusan untuk ikut-ikutan berjilbab.
“Kan biar kompak, lagian kata Mba Tari, perempuan yang udah mens wajib berjilbab tho?” ujarku kala itu dengan santai. Selanjutnya, semua terjadi begitu saja. Aku diantar ibu mengukur baju ke penjahit langganan, lalu pagi itu, di hari pertama masuk sekolah, aku telah rapi berjilbab –tentu saja dibantu memakainya oleh kakakku.
Hari pertama menggunakan jilbab, aku kerepotan karena melupakan satu hal; memakai ciput alias kerudung bagian dalam. Tapi dari situ aku jadi tahu pentingnya fiksator rambut saat memakai jilbab. Aku yakin, lambat laun aku pasti akan expert juga dalam memakai jilbab.
Sehari, dua hari, aku masih minta bantuan kakak untuk mengenakan jilbab segiempat. Sekolahku mewajibkan siswi putri menggunakan jilbab segiempat ke sekolah, itu sebabnya aku terpaksa berusaha keras mengenakannya. Kalau main atau keluar rumah, aku masih nyaman dengan jilbab kaos yang siap pakai. Seminggu berlalu, aku mencoba untuk memakai jilbab segiempat sendiri. Hasilnya memang kurang memuaskan, tapi aku terus berlatih. Akhirnya pandai juga aku mengenakannya, bahkan dengan berbagai model. Meski terkadang kakak memprotes jika aku memakai jilbab dengan model yang aneh-aneh.
“Kan yang penting syar’i, menutup dada. Hehehe...” ujarku nge-les.
Masa berlalu terkadang tanpa manusia sadari. Detik berjalan tanpa menunggu jiwa yang alpa. Hukum alam terus berlaku, semua teratur oleh bingkai fitrahNya. Aku kembali tersadar dari lamunan masa laluku. Hari itu, dengan bekal surat pernyataan bermaterai enam ribu rupiah, aku menghadap wali kelas. Kali ini, pertimbanganku dalam bertindak bukan lagi karena ikut-ikutan kakak ataupun orang lain. Ya, ini adalah keputusanku sendiri, yang didasarkan oleh kesadaran penuh akan kewajiban berhijab bagi seorang wanita. Kesadaran yang aku pupuk tetes demi tetes, sedikit demi sedikit, hingga membentuk sebuah ideologi dalam diri.
“Orang tua sudah setuju ya?” tanya beliau.
“Iya Bu, ayah bersedia untuk tandatangan,” jawabku penuh hormat. Ya, ayah memang mendukung keputusanku. Terlebih ibu dan kedua kakak. Semangat dari mereka membuatku semakin yakin melangkah.
“Kalau suatu saat nanti ada apa-apa, sekolah tidak menanggungnya ya,” beliau memastikan lagi.
Aku mengangguk mantap, “Iya Bu, insya Allah semua risikonya saya tanggung sendiri.”
“Yasudah, pihak sekolah tidak akan memaksa,” beliau tersenyum tulus.
“Iya Bu, saya mengerti. Terimakasih, Bu...” jawabku takzim. Aku mencium tangan beliau lalu beranjak meninggalkan ruang guru.
Derap langkah siswa yang pulang sekolah menimbulkan harmoni khas. Ceracau saat menanti angkutan umum memberikan warna tersendiri pada suasana rutin siang hari. Sabit merekah di antara hiruk pikuk itu, teringat pada nasihat seorang kawan, “Mungkin butuh keberanian tuk tersenyum, saat keraguan menyelimuti nurani, dan sedikit usikkan menggoyahkan iman. Yakin padaNya, dan pejamkan mata. Dalam embun bening yang mengalir, hangat cahayaNya kan terasa....” 


(Salah satu cerpen dalam buku Hijab, I'm In Love, kumpulan tulisan terpilih dari IMSS writing competition 2012, terbitan Gamais Press)

Comments

Popular posts from this blog

Mitos dan Fakta Mahasiswa FK

Bisa dibilang bahwa kedokteran adalah salah satu jurusan yang tergolong kontroversial. Banyak isu dan gosip yang sering saya dengar bahkan jauh hari sebelum benar-benar jadi mahasiswa FK. Diantara desas-desus itu tak jarang yang membuat saya merasa harus berpikir ulang sebelum memilih ambil jurusan ini. Setelah terjun di dalamnya, ternyata ada isu yang bukan sekedar gosip alias fakta, dan ada pula yang ternyata zonk alias hoax alias mitos belaka. Nah dipostingan kali ini saya pengen bahas satu-satu, meski nggak semuanya karena jumlah aslinya buanyak bangets. Semoga bisa mewakili yes. Abaikan pose orang-orang yang di pinggir 1. Mahasiswa FK biasanya anak orang kaya soalnya bayar kuliahnya mahal. Menurut saya nggak seratus persen benar. Memang ada FK yang mematok harga selangit baik untuk biaya masuk maupun persemesternya, tapi banyak juga FK yang relatif terjangkau, biasanya dari universitas negeri. Selain itu ada kok mahasiswa FK kayak saya yang hanya bermodal dengkul alias m

Kerlap-kerlip

Mati lampu. Ini bukan karena pulsa listrik kost saya habis atau belum bayar 3 bulan. Bukan juga karena lampunya kadaluarsa. Semua lampu sepanjang jalan kost mati, itulah kenyataan yang terjadi, dan harus diterima dengan lapang dada. Dan saya, disini ngutak-atik laptop, nulis-nulis blog selagi temen2 kost ribut masalah lilin, korek, dan seterusnya. Saya cukup menikmati kegelapan ini, karena kamar saya jadi bersinar gara2 hiasan bintang2 fluoroscent warna hijau, pink, dan biru yang saya tempel di langit2 dan tembok kamar saya. Walhasil, kalo mati lampu, kamar saya jadi kerlap-kerlip, jad i berasa melayang-layang di tengah langit malam (lebay), hem mungkin sederhananya seperti berada di planetarium, atau apalah itu, yang jelas rasanya nyaman sekali :) Alhamdulillah, lampunya udah nyala! Wah, cepet banget ya, cuma berapa menit gitu, ga sampe setengah jam. Kamar saya sekarang jadi terang benderang, ga kerlap-kerlip lagi :) Hem, saya jadi teringat sama penemu lampu pijar, Thomas Alfa Edi

Idul Adha di Perantauan; Sedih Sih, Tapi... Siapa Takut? B-)

Bismillah. Errr udah paham dari judulnya ya? Yaudah deh, ga jadi cerita ah~ ^_^ Intinya selamat hari raya idul adha, mohon maaf lahir dan batin (loh?) (Hoho gambar yg cukup menghibur :D)