Saat duduk di bangku kelas 4 sekolah dasar saya pernah diberi tugas menuliskan aktivitas yang dilakukan selama liburan sekolah. Saya yang hanya LDR (liburan di rumah) bingung harus menulis apa dan akhirnya hanya menulis tentang kegiatan saya main ke rumah nenek, manjat pohon, makan mangga, jatuh, dan hal-hal ngga penting lain yang intinya semua itu cuma ngarang belaka. Walhasil nilai yang tertera di lembar tugas saya hanya 65, beda jauh dengan teman saya yang menceritakan liburannya ke luar kota dan dapat 90. Yah mungkin gaya bahasa saya yang memang ndeso banget, tapi saya jadi sebal sama pelajaran mengarang.
Meski sebal menulis tapi saya cinta membaca. Awalnya buku yang saya baca hanya sebatas fabel, dongeng-dongeng dunia, atau majalah bobo yang bapak saya beli secara kiloan di shoping center, paling banter adalah buku kumpulan cerita rakyat yang ibu saya pinjamkan dari perpustakaan umum. Lalu perlahan saya mulai menyentuh majalah annida punya kakak dan dari situ saya mulai kenal penulis-penulis seperti Pipiet Senja, Asma Nadia, Helvy Tiana Rosa, Sinta Yudisia, dan lain-lain. Kala itu saya juga menemukan sebuah buku fotocopyan yang sangat luar biasa gubahan AA Navis, berjudul Robohnya Surau Kami. Saya mulai tertarik pada sastra kontemporer, tapi sebelum kepo lebih lanjut, kakakku membawakan buku fenomenal karya Habiburrahman El Shirazy, Ayat-Ayat Cinta yang membuat rasa ingin tau saya beralih pada Kang Abik. Usia saya 12 tahun waktu itu, dan terbersit dalam pikiran bahwa sebuah tulisan dapat mengubah seseorang. Saya juga ingin seperti penulis-penulis itu, tapi bagaimana caranya kalau nilai mengarang saya saja hanya 65? Huks
Waktu itu, minat membuat tulisan saya alihkan pada hal lain, yaitu berpuisi. Hahaha gini-gini saya sempat beberapa kali ikut lomba baca puisi waktu SD hlo. Tutor pribadi saya ada 3 orang: ibu dan kedua kakak saya. Berkat masa-masa itu saya jadi lumayan hapal pada puisi karya tokoh-tokoh Indonesia seperti Chairil Anwar, Taufiq Ismail, WS Rendra, Hartoyo Andangjaya, Sutan Takdir Alisyahbana, Sutardji Calzoum Bachri, hingga Sapardi Djoko Damono. Mungkin karena dalam puisi kita bebas berekspresi tanpa terikat aturan kepenulisan kali ya, dan interpretasi nya bisa berbeda-beda, tergantung siapa pembacanya. Jadi kayaknya puisi itu lebih seru.
Lalu saat menginjak bangku SMP, saya bertemu dengan seorang guru yang sangat hebat dan begitu memotivasi siswanya untuk membiasakan diri menulis, Bu Etit Sasongkowati. Tugas-tugas yang beliau berikan mulai dari menulis cerpen, puisi, artikel, pengalaman tak terlupakan, menyimak berita dan menuliskannya kembali, membuat kliping tentang topik tertentu, hingga mementaskan drama karya sendiri, benar-benar mengasah kemampuan berkreasi. Beliaulah orang yang mengatakan bahwa saya punya bakat (duh ekspektasi beliau sepertinya terlalu tinggi) dan yang mengikutsertakan saya dalam berbagai lomba (maaf ya Bu kalau hasilnya banyak mengecewakan). Dan kalau dipikir, masa SMP itu adalah masa saya paling produktif baik dalam hal membaca maupun menulis. Saat itu saya banyak melahap karya-karya penulis besar, seperti Marah Rusli, Budi Darma, Umar Kayam, Idrus, Mochtar Lubis, HAMKA, dan lain-lain. Saya juga masih ingat 2 buku yang Bu Etit pinjamkan ketika saya akan mengikuti sebuah lomba, yaitu Sampah Bulan Desember karya Hamsad Rangkuti dan Sajak-Sajak 33 Karya milik Toety Heraty. Saat itu mimpi saya mulai tumbuh, yaitu menjadi seorang penulis buku yang best seller.
Tapi mimpi tinggalah mimpi karena saat SMA saya malah sibuk belajar eksak hingga akhirnya terceburlah saya dalam Fakultas Kedokteran yang penuh cobaan dan semakin ngga sempat nulis lagi. Sebenernya itu semua hanya alasan belaka sih, buktinya banyak juga tuh dokter yang nulis buku dan istiqomah berkarya. Saya aja yang kebanyakan ngeles. Maka dari itulah saya ingin sedikit demi sedikit kembali mengumpulkan niat (yang mungkin seperti butiran debu di gerbang belakang kampus UNS)..
Penulis favorit saya, Tere Liye, dalam sebuah seminar pernah berkata, karya tulisan itu memiliki tingkatan. Yang pertama adalah tulisan yang menghibur, yang membacanya dapat merubah suasana perasaan orang yang membacanya. Karya kedua adalah yang bermanfaat, yang menambah pengetahuan pembaca. Dan tulisan terbaik adalah yang terakhir, yaitu karya yang mampu memotivasi kehidupan pembacanya. Nah, saya ingin sekali jadi tipe penulis yang ketiga, meski apalah daya belum punya karya beneran dan cuma bisa nyampah-nyampah curhat ga jelas aja di blog ini. Huks
Juga, bila tulisan yang dibuat itu bisa memotivasi seseorang menjadi lebih baik, kebayang dong gimana pahalanya. Jadi kepikiran sama penulis buku cetak agama waktu masih sekolah nih.
Dan akhirnya saya sisipkan sebuah quote untuk menutup postingan ini: menulislah untuk mengubah dunia, menulislah agar namamu abadi :)
Meski sebal menulis tapi saya cinta membaca. Awalnya buku yang saya baca hanya sebatas fabel, dongeng-dongeng dunia, atau majalah bobo yang bapak saya beli secara kiloan di shoping center, paling banter adalah buku kumpulan cerita rakyat yang ibu saya pinjamkan dari perpustakaan umum. Lalu perlahan saya mulai menyentuh majalah annida punya kakak dan dari situ saya mulai kenal penulis-penulis seperti Pipiet Senja, Asma Nadia, Helvy Tiana Rosa, Sinta Yudisia, dan lain-lain. Kala itu saya juga menemukan sebuah buku fotocopyan yang sangat luar biasa gubahan AA Navis, berjudul Robohnya Surau Kami. Saya mulai tertarik pada sastra kontemporer, tapi sebelum kepo lebih lanjut, kakakku membawakan buku fenomenal karya Habiburrahman El Shirazy, Ayat-Ayat Cinta yang membuat rasa ingin tau saya beralih pada Kang Abik. Usia saya 12 tahun waktu itu, dan terbersit dalam pikiran bahwa sebuah tulisan dapat mengubah seseorang. Saya juga ingin seperti penulis-penulis itu, tapi bagaimana caranya kalau nilai mengarang saya saja hanya 65? Huks
Waktu itu, minat membuat tulisan saya alihkan pada hal lain, yaitu berpuisi. Hahaha gini-gini saya sempat beberapa kali ikut lomba baca puisi waktu SD hlo. Tutor pribadi saya ada 3 orang: ibu dan kedua kakak saya. Berkat masa-masa itu saya jadi lumayan hapal pada puisi karya tokoh-tokoh Indonesia seperti Chairil Anwar, Taufiq Ismail, WS Rendra, Hartoyo Andangjaya, Sutan Takdir Alisyahbana, Sutardji Calzoum Bachri, hingga Sapardi Djoko Damono. Mungkin karena dalam puisi kita bebas berekspresi tanpa terikat aturan kepenulisan kali ya, dan interpretasi nya bisa berbeda-beda, tergantung siapa pembacanya. Jadi kayaknya puisi itu lebih seru.
Lalu saat menginjak bangku SMP, saya bertemu dengan seorang guru yang sangat hebat dan begitu memotivasi siswanya untuk membiasakan diri menulis, Bu Etit Sasongkowati. Tugas-tugas yang beliau berikan mulai dari menulis cerpen, puisi, artikel, pengalaman tak terlupakan, menyimak berita dan menuliskannya kembali, membuat kliping tentang topik tertentu, hingga mementaskan drama karya sendiri, benar-benar mengasah kemampuan berkreasi. Beliaulah orang yang mengatakan bahwa saya punya bakat (duh ekspektasi beliau sepertinya terlalu tinggi) dan yang mengikutsertakan saya dalam berbagai lomba (maaf ya Bu kalau hasilnya banyak mengecewakan). Dan kalau dipikir, masa SMP itu adalah masa saya paling produktif baik dalam hal membaca maupun menulis. Saat itu saya banyak melahap karya-karya penulis besar, seperti Marah Rusli, Budi Darma, Umar Kayam, Idrus, Mochtar Lubis, HAMKA, dan lain-lain. Saya juga masih ingat 2 buku yang Bu Etit pinjamkan ketika saya akan mengikuti sebuah lomba, yaitu Sampah Bulan Desember karya Hamsad Rangkuti dan Sajak-Sajak 33 Karya milik Toety Heraty. Saat itu mimpi saya mulai tumbuh, yaitu menjadi seorang penulis buku yang best seller.
Tapi mimpi tinggalah mimpi karena saat SMA saya malah sibuk belajar eksak hingga akhirnya terceburlah saya dalam Fakultas Kedokteran yang penuh cobaan dan semakin ngga sempat nulis lagi. Sebenernya itu semua hanya alasan belaka sih, buktinya banyak juga tuh dokter yang nulis buku dan istiqomah berkarya. Saya aja yang kebanyakan ngeles. Maka dari itulah saya ingin sedikit demi sedikit kembali mengumpulkan niat (yang mungkin seperti butiran debu di gerbang belakang kampus UNS)..
Penulis favorit saya, Tere Liye, dalam sebuah seminar pernah berkata, karya tulisan itu memiliki tingkatan. Yang pertama adalah tulisan yang menghibur, yang membacanya dapat merubah suasana perasaan orang yang membacanya. Karya kedua adalah yang bermanfaat, yang menambah pengetahuan pembaca. Dan tulisan terbaik adalah yang terakhir, yaitu karya yang mampu memotivasi kehidupan pembacanya. Nah, saya ingin sekali jadi tipe penulis yang ketiga, meski apalah daya belum punya karya beneran dan cuma bisa nyampah-nyampah curhat ga jelas aja di blog ini. Huks
Juga, bila tulisan yang dibuat itu bisa memotivasi seseorang menjadi lebih baik, kebayang dong gimana pahalanya. Jadi kepikiran sama penulis buku cetak agama waktu masih sekolah nih.
Dan akhirnya saya sisipkan sebuah quote untuk menutup postingan ini: menulislah untuk mengubah dunia, menulislah agar namamu abadi :)
Comments
Post a Comment